Renungan Hari Minggu 12 September 2021

Renungan Hari Minggu 12 September 2021

Renungan Hari Minggu 12 September 2021

Lidah seorang murid

Yesaya 50:4-6 memaparkan identitas Sang Hamba. Demi melaksanakan panggilan-Nya, Ia menundukkan diri menjadi murid Tuhan. “Lidah” dapat berarti “bahasa”, atau dapat pula berarti “kemampuan berbicara” (ayat 4). 

Dikaruniai “lidah seorang murid” berarti “diajar untuk mengatakan apa yang didengar dari Tuhan”. Dengan demikian dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu.

Namun maknanya ternyata lebih dalam lagi. Kata-kata Sang Hamba juga harus menegaskan dan menggarisbawahi kata-kata Tuhan yang mengampuni dan menyelamatkan. Itu yang Tuhan harapkan dari Hamba-Nya. Sebab itu setiap pagi Tuhan membukakan dan menajamkan pendengaran-Nya. 

Segenap kehidupan Sang Hamba harus diserahkan untuk meneruskan firman Tuhan yang Ia dengar. Berserah berarti juga tetap taat dan setia meski orang lain menolak pemberitaan-Nya (ayat 6). Syukur kepada Tuhan, Tuhan sendiri akan menjadi pembela Sang Hamba (ayat 7-9).

Kalau Sang Hamba saja memiliki gambaran demikian apalagi kita. Jangan biarkan “lidah” kita menjadi “lidah yang tak bertulang”, yang tidak bisa kita kontrol. Sebaliknya berusahalah dengan segenap daya menjadikan lidah kita sebagai “lidah seorang murid”. Artinya lidah seorang yang sudah diajar, yaitu yang dikendalikan sehingga bermanfaat. 

Banyak pelayan Tuhan yang kegunaannya menjadi sangat berkurang karena lidah yang tidak dikekang. Entah karena kata-kata yang sembarangan atau kuasa rohani yang bocor melalui percakapan yang sembrono (Pkh. 5:2). 

Mungkin juga karena kata-kata digunakan bukan untuk memberitakan kebenaran melainkan untuk menyenangkan pendengaran orang lain. Maka yang ada hanyalah penyesatan, yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan (Mat. 12:36-37).

Salah satu ukuran kedewasaan atau kematangan rohani seseorang adalah apa yang dikeluarkan dari mulutnya. Murid Tuhan yang dewasa pastilah berkata-kata sekualitas kata-kata Tuhannya.

Mazmur, Tiga dimensi waktu.

Orang Kristen hidup dalam tiga dimensi waktu yaitu masa kini, masa lalu, dan masa depan, sesuai dengan ungkapan pemazmur di pasal ini. Pada masa kini ia mengasihi Allah (1), pada masa lalu: “Ia mendengarkan suaraku” (1), dan di masa depan “seumur hidupku aku akan berseru kepada-Nya” (2). 

Pemazmur sendiri hidup dalam tiga dimensi: setelah doanya terjawab (masa lalu), dia mengasihi Allah (masa kini), dan dengan permohonan doa-doanya, ia melanjutkan hidup masa depannya.

Kasih karunia penggerak tindakan. Dalam Mazmur ini, dimensi yang ke tiga merupakan tindakan konkrit, karena kasih karunia Allah sudah dilimpahkan kepada manusia (ay. 2, 13, 17). Bahkan di ayat 13, bila dilihat berdasarkan perspektif Perjanjian Baru tentang cawan Yesus, ini bermakna bagi setiap orang Kristen yang sudah menerima kasih karunia bahwa “mengangkat cawan keselamatan” berarti (a) bukti ia berserah dan percaya sepenuhnya kepada-Nya; (b) taat kepada-Nya dalam segala situasi; (c) memelihara persekutuan dengan-Nya; dan (d) tetap berpengharapan akan bersekutu dengan-Nya. 

Empat hal itu adalah ungkapan “aku mengasihi Tuhan” (ay. 1). Bila Mazmur ini ditempatkan dalam kehidupan Kristen, maka tiga dimensi waktu yang berkesinambungan itu hanya akan berakhir ketika Bapa memanggil kita pulang.

Yakobus bacaan kedua, Memisahkan iman dengan perbuatan?

Kesalahan terbesar yang orang Kristen bisa lakukan adalah memahami iman terpisah dari pengamalannya. Seharusnya pengamalan iman mengikuti kedalaman pemahaman orang tentang imannya. Akibat terburuk dari pemisahan iman dan pengamalannya adalah orang jadi pandai bersilat lidah tentang imannya. 

Kesalahan sebaliknya adalah apabila orang berupaya menjadi lebih baik melalui perbuatannya untuk tujuan kemanusiaan. Ini akan berdampak pada pemujaan manusia karena perbuatan baik. Memisahkan iman dan perbuatan bisa berdampak pada kesesatan.

Firman ini menegur kenyataan adanya orang Kristen yang tidak peduli pada saudara seiman yang miskin atau kesusahan. Yakobus mengingatkan bahwa tanpa ungkapan kepedulian, iman itu mati dan tak berdaya. Orang yang memiliki iman demikian, sesungguhnya bukan orang yang menyelami makna keselamatan (14-17). 

Percuma mengklaim iman pada fakta kebenaran tentang Allah atau tentang Kristus dan karya penyelamatan-Nya, sebab Iblis pun memiliki pemahaman iman yang sama bahkan ia gentar kepada Allah (19)! Tanpa ketaatan dan tindakan serasi dengan iman, sesungguhnya iman itu kosong atau mati adanya (17, 20).

Kehidupan iman yang dinamis akan tampak dalam sikap seseorang terhadap sesamanya. Kesejatian iman akan terlihat pada sikap seseorang terhadap lingkungannya. Pekakah ia pada kebutuhan sesama? Pedulikah ia untuk ambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat? 

Ringan tangankah ia pada masalah sosial sehingga mau terlibat, setidaknya dengan menaikkan doa pribadinya? Iman murni dalam Kristus akan menghasilkan perbuatan. Kebaikan yang murni digerakkan oleh iman. Tidak ada alasan untuk memisahkan keduanya.

Iman bagai daya imajinasi yang menggerakkan penulisan buku yang tadinya kosong dengan beragam kisah yang menyenangkan hati Tuhan. Kelak Dia akan menilai apakah buku itu sudah ditulisi dengan indah dan bernilai sesuai dengan tujuan hidup pemiliknya.

Injil hari ini, Mau ikut Mesias yang menderita?

Sejak saat pertama bertemu dengan Yesus, murid-murid telah meyakini Dia sebagai Mesias (Yoh. 1:41). Namun saat itu mereka masih memahami Mesias hanya sebagai pemimpin politik. Seiring perjalanan waktu, perlahan-lahan Yesus mengajari mereka mengenai keberadaan diri-Nya.

Penyembuhan seorang tuli yang dilakukan Yesus telah melahirkan pengakuan murid-murid akan kebesaran-Nya (Mrk. 7:37). Penyembuhan seorang buta juga membuka mata murid-murid tentang kemesiasan Yesus, sebagaimana disuarakan oleh Petrus (ayat 29). 

Saat itu segala kabut, yang menghalangi penglihatan dan pengertian para murid akan Yesus, seolah sirna. Jawaban Petrus memperlihatkan bahwa terang penyataan Allah mulai menyingsing. 

Meski demikian, seperti si buta dalam penyembuhan tahap pertama (Mrk. 8:22-26), penglihatan atau pemahaman Petrus tentang Yesus masih belum sempurna. Ia memang mengakui Yesus sebagai Mesias, tetapi bukan Mesias yang mengalami penderitaan dan kemudian mati tersalib (ayat 31-32). 

Menurut Yesus, konsep ini salah karena Petrus tidak melihat hal itu berdasarkan sudut pandang Allah. Petrus malah bertindak seperti Iblis yang mencobai Yesus untuk melawan kehendak Allah dengan tidak mengikuti jalan salib.

Yesus diutus Bapa-Nya ke dunia bukan untuk menyenangkan dan memuaskan keinginan manusia. Itu sebabnya Yesus melarang murid-murid-Nya memberitahu orang lain bahwa Dia adalah Mesias. Selain karena orang harus menemukan hal itu secara pribadi, juga agar orang tidak punya motivasi salah saat mengikut Dia.

Petrus ternyata punya pengikut. Banyak orang yang lebih suka mengenal Yesus sebagai Tuhan yang menyelesaikan kesulitan dan memenuhi kebutuhan mereka. Padahal Yesus datang terutama untuk menyelesaikan masalah fundamental yang dihadapi manusia, yaitu dosa. Bagaimana tanggapan dan sikap Anda? Ia yang menentukan bagaimana Anda harus bersikap atau Anda yang mengatur Dia?

Beranikah kita mengikut Yesus?

Bila Anda diajak untuk melakukan perjalanan, mana yang Anda sukai: diberitahu dulu rutenya atau ikut saja tanpa peduli kemanapun Anda akan diajak pergi? Perjalanan mengikut Yesus ternyata bukanlah perjalanan yang asal ikut saja. 

Yesus memberi tahu murid-murid-Nya mengenai apa yang harus mereka lakukan dalam perjalanan mengiring Dia. Yesus berkata bahwa menjadi murid Tuhan berarti menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Tuhan (ayat 34).

Menyangkal diri berarti tidak mengakui hak atas diri sendiri. Lalu siapa yang berhak? Tuhan. Dialah yang seharusnya membuat segala keputusan dalam berbagai aspek hidup kita. Itu berarti kita tidak berhak memutuskan apapun yang akan kita lakukan atau kemanapun kita pergi. “Radikal sekali!”, mungkin Anda akan berkomentar demikian. Memang! Itulah arti hakiki penyangkalan diri.

Apa arti pikul salib? Salib adalah tempat diri dan harkat Yesus direndahkan. Pikul salib menggambarkan perjalanan yang berat dan sendirian. Tak ada jalan kembali. Bagi kita kini, salib bukanlah pencobaan, bukan juga kesulitan hidup yang harus kita derita. 

Salib bukan berupa cacat fisik, keberadaan mertua yang suka mengatur dan ikut campur, atau tetangga yang sering merepotkan. Pikul salib terjadi ketika kita harus kehilangan reputasi, pangkat, kehormatan, atau harta kekayaan dalam mempertahankan kemuridan kita.

Ikut Tuhan berarti menaati Tuhan. Dengan kata lain, ikut Tuhan berarti memilih untuk melakukan atau mengatakan apa yang diperintahkan Tuhan. Berat? Mungkin saja. Namun kita bisa meminta Tuhan menguatkan kita.

Setelah semua penjelasan ini, makin siap atau makin gentarkah Anda untuk ikut Tuhan? Ingatlah bahwa sangkal diri, pikul salib, dan ikut Tuhan bukan tindakan yang dilakukan sekali saja. Ikut Tuhan bagaikan program pendidikan seumur hidup yang harus dijalani terus menerus. Upah besar menanti orang yang mau setia. Namun orang yang menolak percaya, akan menemui kebinasaan kekal.

DOA: Tuhan Yesus, terima kasih untuk pengorbanan hidup-Mu sendiri demi keselamatan kami. Pengungkapan-pengungkapan cinta kasih-Mu memenuhi rohku dengan rasa syukur dan puji-pujian yang tulus. Amin. (Lucas Margono)

Sumber https://carekaindo.wordpress.com/ 

Sumber gambar google.com

Next Post
No Comment
Add Comment
comment url