Renungan Hari Minggu 30 Maret 2025

Renungan Hari Minggu 30 Maret 2025

Renungan Hari Minggu 30 Maret 2025

Bapak, Ibu dan Saudara-saudari yang terkasih dalam Yesus Kristus, Pada Renungan Harian Minggu 30 Maret 2025. Dalam Bacaan Injil Lukas 15:1-3,11-32 hari ini mengisahkan tentang, "Saudaramu telah mati dan kini hidup kembali."

Apakah jati diri orang Kristen yang tidak boleh dilupakan? Kita adalah umat tebusan Allah oleh darah Kristus. Apa tanda yang seharusnya menjadi pengakuan anak Tuhan bahwa dirinya sudah menjadi milik Kristus?

Dengan memberi diri dibaptis dan secara rutin mengikuti sakramen Misa Kudus, sesuai dengan perintah Tuhan sendiri.

Bagi umat Israel, memberi diri disunat dan merayakan Paskah adalah tanda kesejatian umat Allah. Secara ritual, tanda-tanda ini diberlakukan sebagai perintah Allah. Sunat adalah perintah yang diberikan sejak Abraham menerima janji Allah (Kej. 17).

Dengan sunat, cemoohan Mesir bahwa Israel dibawa di padang gurun untuk dibinasakan telah terhapus, karena ternyata tidak terbukti (Yos. 5:9; lih. Kel. 32:12). Sedangkan perayaan Paskah merupakan peringatan pembebasan umat dari perbudakan Mesir.

Secara teologis, memberi diri disunat adalah pernyataan ketidakberdayaan diri di hadapan Allah diiringi dengan penyerahan total ke dalam belas kasih-Nya. Merayakan Paskah berarti mengakui diri sebagai umat tebusan milik Allah bukan milik sendiri.

Secara moral, memberi diri disunat adalah pernyataan akan hidup yang diserahkan total kepada Tuhan agar tidak lagi digunakan untuk berbuat dosa. Merayakan Paskah berarti bersukacita untuk karya penebusan Allah dan tekad untuk melayani Dia sepenuh hati sebagai pernyataan kasih.

Tentu dibaptis dan secara rutin merayakan Misa Kudus tidak bermakna apa pun kalau kita belum secara pribadi menjadi milik Tuhan. Bersama dengan melantunkan Doa Bapa Kami dan mengikrarkan Sahadat Para Rasul, merupakan tanda-tanda kesejatian umat kepunyaan Allah.

Oleh karena itu, peliharalah tanda-tanda itu bersama segenap umat Tuhan karena melalui hal-hal itu kita dipersatukan dan diteguhkan untuk tetap setia.

Mazmur, Alami Tuhan

Bagaimana meyakinkan orang lain bahwa Tuhan itu baik? Untuk orang-orang yang berpikiran modern, kita bisa mengajukan sejumlah bukti akan kebaikan Tuhan yang dinyatakan dalam Alkitab, atau yang dapat diperiksa dari kenyataan alam semesta ciptaan-Nya.

Namun orang-orang yang dipengaruhi oleh pandangan pascamodern, yang merelatifkan segala kebenaran, tidak butuh pengajaran dan berbagai bukti tertulis. Yang mereka butuhkan adalah pengalaman sebagai bukti.

Mazmur ini mengajak para pembacanya untuk mengalami Tuhan. Alami sendiri kebaikan-Nya sebagaimana yang telah pemazmur rasakan. Apa yang pemazmur rasakan dan alami? Rupanya mazmur ini lahir dari pengalaman Daud yang dilindungi Tuhan saat melarikan diri dari Saul, yang hendak membunuh dirinya.

Sebagai seorang buronan, berulang kali Daud mengalami kesesakan, penindasan, dan merasa terjepit. Namun setiap kali ia menjerit kepada Tuhan, Tuhan menolong tepat pada waktunya.

Perlindungan Tuhan dirasakan bagai dijaga oleh pasukan malaikat yang mengelilingi dia. Bagaikan satpam atau pengawal khusus yang dua puluh empat jam sehari menjaga penuh. Pemazmur mengajak para pembacanya merespons Tuhan agar pengalaman hidup mereka diperkaya.

Mari, pandanglah Tuhan, maka hidup ini akan penuh kesukacitaan . Ayo, takutlah akan Tuhan, maka Dia akan mencukupkan segala kebutuhan kita.

Mengalami Tuhan bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tak usah menunggu saat tekanan hidup tak tertahankan lagi. Alami Tuhan dengan melibatkan Dia dalam segala aspek hidup Anda.

Dekatkan diri pada-Nya dengan sikap yang terbuka agar Dia dengan bebas menyapa dan menjamah hidup Anda. Saat Anda mengalami kehadiran atau pertolongan-Nya, naikkan syukur bersama-sama umat Tuhan lainnya. Mahsyurkan nama-Nya di hadapan orang lain.

Bacaan Kedua, Tenaga pendorong pelayanan

Bila dalam pasal 4:1 Paulus menjelaskan penyebab ia tidak tawar hati dalam pelayanan, kini ia menjelaskan hal-hal yang mendorong dia untuk terus giat melayani.

Pertama, Paulus tahu bahwa suatu saat ia dan semua orang akan berhadapan dengan takhta pengadilan Kristus. Itu memunculkan rasa \’takut akan Tuhan\’ dalam hatinya, yang kemudian memotivasi dia untuk mencari \’orang-orang terhilang\’ dan meyakinkan mereka tentang Injil.

Ia tahu Allah memahami motivasinya, karena itu ia berharap agar jemaat Korintus memahami pula pelayanan dan motivasinya yang murni, serta merasa bangga karenanya. Sebab semuanya ia lakukan bagi kemuliaan Allah dan kepentingan mereka juga.

Hal lain yang memberdayakan Paulus dalam pelayanan adalah \’kasih Kristus yang menguasai dia\’. Yang Paulus maksud bukan kasihnya kepada Kristus, tetapi pergumulan akan kasih Kristus yang rela mati untuk mencari dan menyelamatkan yang terhilang, agar mereka diperdamaikan dengan Allah (17) dan menjadi ciptaan yang baru.

Orang yang memberikan dirinya digerakkan oleh kasih Kristus ini terlibat dalam pelayanan pendamaian. Inilah tugas yang Allah percayakan kepada Paulus (18-19) sebagai utusan-Nya (20-21).

Dengan rela hati, ia pun menerimanya karena tahu bahwa orang yang telah diselamatkan hidupnya oleh Yesus, harus hidup untuk Dia dan melayani Dia.

Kasih Kristus juga memberi Paulus cara penilaian yang baru terhadap sesamanya (16-17). Berbagai embel-embel dan gelar yang sering orang banggakan, bukan lagi yang utama.

Sesama orang beriman harus dilihat sebagai milik Kristus, yaitu orang yang sudah mengecap kasih-Nya. Terhadap sesama yang belum beriman kepada Kristus,

ingatlah bahwa Kristus berkorban bagi mereka juga. Mereka perlu tahu bahwa hidup mereka berharga sebab Kristus juga berkorban bagi mereka. Kiranya kasih Kristus yang Paulus hayati ini juga menjadi tenaga pendorong kita dalam pelayanan.

Injil hari ini, Pulang

Si anak bungsu telah pergi menghabiskan segala harta milik yang diberikan oleh bapanya. Ia hidup berfoya-foya hingga habislah segala miliknya. Ia melarat hingga hampir mati. Injil mencatat, bahkan ampas untuk makanan babi pun tidak ia peroleh untuk dimakan.

Sadar akan keadaannya yang begitu berdosa terhadap surga dan bapanya, timbullah niat untuk pulang dan bertobat. Memang, pertobatan itu berawal dari kesadaran bahwa kita ini orang berdosa.

Si anak bungsu bangkit dari kejatuhannya. Ia pulang ke rumah dan telah siap menerima segala risiko dari bapanya. Bahkan, ia telah siap untuk dijadikan sebagai orang upahan oleh bapanya sendiri. Semua rancangan itu telah ia persiapkan. Namun, ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, dan tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.

Tidak cukup hanya tergerak, ayah itu bahkan berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Perhatikan kata-kata yang digunakan: berlari, merangkul, mencium. Betapa hangat penerimaan bapa kepada anaknya yang pulang itu.

Belum lagi si anak selesai mengucapkan kata-kata penyesalan yang sudah dirancangnya, ayah itu langsung menyuruh hamba-hambanya untuk mengambil dan memakaikan jubah yang terbaik, mengenakan cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya, mengambil lembu tambun.

Lalu mereka makan dan bersukacita. Betapa gembira bapa itu atas pulangnya anaknya yang telah berdosa itu.

Di tengah kemeriahan pesta, ada kisah tragis terjadi. Si sulung protes atas perlakuan ayahnya yang dianggap tidak adil. Dia telah bertahun-tahun melayani bapanya dan tidak pernah melanggar perintahnya, tetapi tidak pernah diberikan seekor kambing pun.

Akan tetapi, ketika adiknya yang telah memboroskan harta dengan pelacur-pelacur itu pulang, bapanya menyembelih lembu tambun. Jauh di sana, di dasar hatinya, iri hati itu menggelayut.

Dia merasa dirinya benar, tetapi tidak diberi imbalan yang pantas. Dia merasa orang lain salah, tetapi diberi imbalan yang tidak sepantasnya. Akhirnya dia berpikir bahwa bapanya tidak adil. Mungkin juga jauh di sana, di dalam diri kita, sikap si anak sulung itu menggelayut.

Kita merasa diri benar, sehingga tidak perlu bertobat, tidak perlu pulang. Kita merasa iri karena berkat yang diterima sesama kita.

Pulang! Kita harus selalu pulang ke rumah. Dan rumah yang sejati dan kekal itu ialah Tuhan sendiri. Pulang berarti bertobat. Pertobatan itu dimulai dari penyesalan akan dosa-dosa, pengakuan akan kerapuhan diri kita, seperti yang dilakukan si anak bungsu itu.

Karena itu, saat kita pulang kepada-Nya, saat kita bertobat terus-menerus, Ia pun akan berlari menyambut, merangkul dan mencium kita. Semuanya terjadi karena Bapa kita yang murah hati. Ia selalu tergerak oleh belas kasihan melihat orang yang pulang dan bertobat.

Di hadapan Allah, manusia sangat berharga. 

Dalam memberikan penghargaan kepada sesamanya, manusia cenderung menghargai sesamanya bukan berdasarkan hakikatnya sebagai manusia yang mempunyai harkat.

Tetapi penghargaan itu seringkali berdasarkan apa yang ia punyai, prestasi yang dicapai, dan kontribusi yang ia berikan.

Oleh karena itu, manusia pun terjebak dalam kompetisi untuk berkarya setinggi-tingginya sampai menjadi seorang manusia yang mempunyai kekayaan, kedudukan, dan sekaligus menjadi dermawan.

Yesus tidak demikian. Ia tidak sekadar bercakap-cakap dengan orang berdosa, bahkan ia makan bersama-sama dengan mereka, yang dalam tradisi Yahudi makan bersama menunjukkan suatu hubungan yang akrab atau saling menghargai satu dengan yang lain.

Para Farisi dan ahli Taurat mengecam-Nya sebagai Seorang yang terlalu berkompromi dalam soal moralitas, karena bagi mereka akrab atau berdekatan dengan orang berdosa adalah najis.

Yesus menjelaskan dasar tindakan-Nya dengan tiga buah perumpamaan sekaligus yang mempunyai tema sama. Dengan menceritakan perumpamaan yang sedemikian, Yesus paling tidak mempunyai dua maksud.

Pertama, Ia mengekspresikan kesungguhan dan keseriusan atas penjelasan tentang sikap-Nya terhadap orang berdosa.

Kedua, Ia rindu agar orang Farisi, ahli Taurat, dan semua pengikut-Nya meneladani- Nya.

Ketiga perumpamaan itu mengungkapkan bahwa baik dirham (1 hari gaji buruh), domba, dan anak bungsu, masing-masing mempunyai nilai yang tak terhingga bagi pemiliknya. Nilai itu timbul bukan dari apa yang dapat mereka lakukan atau jumlah mereka karena hanya satu yang hilang, namun timbul dari hakekat mereka masing- masing.

Karena itulah ketika kembali ditemukan, meluaplah sukacita pemiliknya, sampai mengajak orang-orang lain pun bersukacita. Nilai manusia terletak pada hakekatnya sebagai makhluk yang telah diciptakan serupa dan segambar dengan Sang Pencipta Yang Agung.

Renungkan

Orang Kristen harus memakai perspektif Yesus ketika bersikap kepada koleganya, karyawannya, pembantu rumah tangganya, pengemis, dan anak jalanan, bahkan para eks narapidana sekalipun. Siapa pun mereka, mereka adalah makhluk yang menjadi objek Kasih Allah juga.

Doa Penutup

Bapa surgawi, kami menyembah Dikau, memuji Dikau, dan bersyukur kepada-Mu karena Dikau memperlakukan kami sebagai anak-anak-Mu terkasih, karena kami dapat diam bersama-Mu untuk selama-lamanya.

Juga karena Dikau telah memberikan segalanya kepada kami. Oleh Roh Kudus-Mu, tolonglah kami agar dapat menerima kasih-Mu dengan rendah hati dan terbuka. Amin. (Lucas Margono)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url