Renungan Hari Senin 03 Oktober 2022
Renungan Hari Senin 03 Oktober 2022
Manusia yang mempunyai daya kemampuan berimaginasi dan berpikir, hampir pasti bertanya atau memikirkan tentang bagaimana hidup setelah kematian itu. Ada keselamatan dalam kehidupan sekarang, lalu apakah ada atau bagaimana bentuk keselamatan setelah hidup di dunia ini.
Ini merupakan pertanyaan kegelisahan yang dialami oleh setiap pribadi sepanjang masa. Ini menjadi pertanyaan dan pergulatan setiap orang, apalagi bagi mereka yang mempunyai pengetahuan lebih berkaitan tengan kitab suci misalnya. Seperti ahli taurat yang bertanya soal hidup kekal kepada Yesus.
Pertanyaan tentang hidup kekal berarti pertanyaan yang perkaranya merupakan masa depan, hal yang akan datang. Pertanyaan akan apa yang akan datang itu dijawab oleh Yesus dengan apa yang terjadi saat ini.
Yesus mendasari jawaban-Nya pada apa yang dipelajari oleh ahli taurat itu. Apa yang dipelahari ahli taurat itulah yang menjadi jawabannya.
Namun sayang bahwa ahli taurat itu baru sampai pada tataran pengetahuan. Ia mengetahui detail apa yang harusnya dibuat untuk memperoleh hidup kekal. Ia mengetahui persis apa yang diajarkan dalam taurat.
Hanya masalahnya adalah bahwa hidup kekal bukan pertama-tama soal pengetahuan. Usaha mempoleh hidup kekal bukan perkara nanti-nanti, atau yang akan datang. Kehidupan kekal itu ditentukan oleh apa yang kita lakukan saat ini, bukan apa yang kita ketahui.
Kekurangsempurnaan ahli taurat itu terletak pada dirinya yang baru pada tataran konseptual. Ia belum bisa mengerti sepenuhnya tentang mengasihi sesama karena ia baru pada tahap potensi, belum aksi nyata yang ia buat.
Penting memikirkan bagaimana nanti hidup kekal. Namun dari apa yang kita dengar hari ini, sebenarnya jauh lebih penting bagaimana kita hidup saat ini. Hidup kekal bukan perkara nanti, namun saat ini.
Lebih penting dan berguna memikirkan bagaimana kita hidup dari pada bergulat tentang bagaimana kita mati. Hidup inilah yang menjadi medan real perjuangan kita. Maka fokus kita adalah memberikan daya hidup, bukan memberikan daya kematian.
Daya hidup yang luar biasa adalah daya kerahiman. Daya kerahiman yang menghidupkan itu selalu kita terima secara cuma-cuma dari Allah. Kerahiman Allah itu yang kita mengerti dengan Allah yang berbelas kasih. Belaskasih yang sama dengan apa yang kita terima dari Allah itu hendak kita bagikan pada orang lain.
Belas kasih selalu bermula dari ketergerakan hati dan berakhir dengan hati yang beraksi. Dalam kisah ini yang menentukan akhir cerita adalah soal ketergerakan hati. Jika orang samaria itu hatinya tidak tergerak, maka akhir kisah akan sama saja dengan dua tokoh sebelumnya.
Namun tindakan yang tidak kelihatan itu menentukan jalannya kisah dan bagaimana akhirnya. Orang samaria itu dilabeli sebagai ‘yang murah hati’.
Sering kali ada ungkapan ‘murah hati’ namun tidak ‘murahan’. Kiranya sikap murah hati mau tidak mau harus berani dan siap dianggap sebagai tindakan ‘murahan’. Bagi kedua tokoh sebelumnya, tindakan orang samaria itu adalah tindakan murahan.
Berani bertindak murah hati berarti harus siap untuk meluangkan waktu lebih banyak, mengalahkan kesenangan sendiri, dan bahkan siap berkurban harta benda.
Satu-satunya pembeda yang jelas berkaitan dengan murah hati dan murahan adalah apakah tindakan itu disertai hati atau tidak. Tindakan sehebat apapun jika tidak disertai dengan ketergarakan hati merupakan tidakan murahan.
Namun tindakan semurah apapun jika disertai dengan hati yang tergerak menjadi tindakan murah hati. Sumber dari ketergerakan hati itu adalah Tuhan sendiri.
Doa
Ya Allah, Engkau telah menanamkan Sabda-Mu di dalam hati kami dan melalui Yesus Kristus, Putra-Mu, Engkau telah memberi kami teladan bagaimana melaksanakan Sabda-Mu itu.
Kami mohon, doronglah kami menunjukkan belas kasih kepada sesama kami, sebagaimana Putra-Mu telah melakukannya. Sebab Dialah Tuhan, Pengantara kami, yang bersama Engkau dan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.
Sumber https://renunganhariankatolik.org/
Sumber gambar google.com