Renungan Hari Sabtu 25 Juni 2022
Renungan Hari Sabtu 25 Juni 2022
Ketika ada seorang ibu dengan susah payah mencari anaknya yang terkasih dan setelah bertemu memperoleh jawaban sebagaimana Yesus menjawab Bunda Maria:”Mengapa kamu mencari Aku?
Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk2:49), kiranya pada umumnya para ibu pasti akan marah besar, bahkan menempeleng atau menyakiti anaknya.
Bunda Maria juga tidak tahu apa maksud yang dikatakan oleh Yesus kepadanya, tetapi ia tidak marah melainkan “menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya”.
Sikap hati yang tulus dan suci dari seorang ibu, maka Bunda Maria menjadi teladan bagi umat beriman, kesucian hatinya kita kenangkan segera setelah kita mengenangkan Hati Yesus Yang Mahakudus.
Kita semua dipanggil untuk meneladan Bunda Maria, yang berhati tersuci di antara umat manusia. Di dalam hidup sehari-hari kiranya cukup banyak hal yang sering kurang atau tidak kita pahami, padahal kita tersangkut atau terkait di dalamnya.
Maka kiranya apa yang dikatakan oleh St.Ignatius Loyola ini merupakan salah satu bentuk ajakan untuk meneladan kesucian hati Bunda Maria: ”Setiap orang kristiani yang baik tentu lebih bersedia membenarkan pernyataan-pernyataan sesamanya daripada mempersalahkannya.
Jika tak dapat dimengerti, yang menyatakannya hendaklah ditanya apakah yang dimaksudkan; dan jika dia salah, hendaklah dibetulkan dengan cintakasih; dan jika itu belum cukup hendaklah digunakan segala upaya yang sesuai, supaya sampai pada pemahaman yang benar, dan dengan demikian dijauhkan dari kesalahan” (LR no 22).
Dengan cara ini kiranya kita semua akan bersukaria sebagaimana digambarkan oleh nabi Yesaya di bawah ini.
“Aku bersukaria di dalam Tuhan, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku, sebab Ia mengenakan pakaian keselamatan kepadaku dan menyelubungi aku dengan jubah kebenaran, seperti pengantin laki-laki yang mengenakan perhiasan kepala dan seperti pengantin perempuan yang memakai perhiasannya” (Yes 61:10)
Dalam sejarah kehidupan rasanya sukaria yang sungguh mendalam dan besar ketika dalam upacara perkawinan, laki-laki dan perempuan saling berjanji untuk menjadi suami-isteri dan saling mengasihi dalam untung maupun malang.
Sepasang mempelai berpakaian indah menarik dan membahagiakan, demikian pula sanak-saudara maupun pada sahabat/undangan yang datang untuk ikut bergembira dalam pesta perkawinan tersebut.
Rasanya semua hati yang hadir, lebih-lebih sang mempelai, berbinar-binar, bersinar terang yang antara lain menjadi nyata dalam senyuman yang menarik serta menggembirakan.
Mereka yang saling bertemu rasanya tidak ada permusuhan melainkan persahabatan atau persaudaraan yang mengharukan.
Kita semua kiranya berharap suasana macam itu tidak hanya terjadi pada upacara atau pesta perkawinan tetapi juga terjadi dalam hidup sehari-hari, di dalam keluarga, tempat kerja/kantor maupun di tengah-tengah masyarakat.
Maka marilah kita saling membantu atau bergotong-royong menciptakan suasana yang menarik dan menggembirakan tersebut.
Salah satu cara atau usaha untuk menciptakan suasana hidup yang demikian itu antara lain kita senantiasa berusaha untuk berpikiran positif terhadap sesama ( positive thinking).
Berpikiran positif rasanya merupakan langkah untuk menjadi mahir dalam Roh atau pembedaan Roh / spiritual discernment.
Jika kita cermati, teliti dan rendah hati melihat dan menyikapi sesama dan saudara-saudari kita rasanya akan kita temukan lebih banyak kebaikan daripada kekurangan, lebih banyak kekuatan daripada kelemahan, lebih banyak keutamaan-keutamaan daripada kebejatan moral.
Mari kita akui dan imani bahwa selama sesama atau saudara-saudari kita masih bebas leluasa kemana-mana berarti mereka adalah orang baik, berkehendak baik.
Jika ada sesuatu yang kurang berkenan di hati kita atau tidak sesuai dengan selera pribadi kita, marilah hal itu kita dekati dan sikapi dengan kebaikan dan cintakasih, dengan demikian semuanya pasti akan berkenan di hati.
Untuk mendukung upaya sikap positif terhadap sesama, rasanya pertama-tama kita sendiri harus bersikap positif terhadap diri kita, sebagai yang telah menerima kasih karunia dari Allah secara melimpah melalui sesama, terutama dari orangtua atau bapak-ibu kita.
Mengakui dan menghayati diri sebagai yang terkasih, yang telah menerima kasih karunia secara melimpah ruah akan menjadi motivasi atau dorongan untuk berpikir positif terhadap sesama serta mengasihinya.
Dengan kata lain kita akan menghayati kasih , sebagaimana diajarkan Paulus, yang menjadi nyata dalam keutamaan-keutamaan “ sabar; murah hati; tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain” (lihat 1Kor 13:4-5).
Doa
Allah Bapa Yang Mahakuasa dan kekal, Engkau telah memenuhi hati Santa Perawan Maria dengan rahmat-Mu, sehingga ia menjadi kediaman yang pantas bagi Roh Kudus. Semoga berkat jasa dan doa restunya, kami pun diterima dalam bait kemuliaan-Mu.
Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu, Tuhan kami, yang bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin.
Sumber https://www.renunganhariankatolik.id/
Sumber gambar google.com