Renungan Hari Minggu 24 Juli 2022
Renungan Hari Minggu 24 Juli 2022
Dalam Injil Lukas 11:1-13 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XVII tahun C didapati tiga pokok.
Pertama Yesus mengajar murid-muridnya berdoa (ayat 1-4), disusul dengan perumpamaan mengenai orang yang dengan tanpa sungkan minta tolong kepada seorang kawannya di tengah malam (ayat 5-8), dan diakhiri dengan sebuah pengajaran mengenai kekuatan doa (ayat 9-13).
Murid-murid meminta Yesus mengajar mereka berdoa sama seperti Yohanes Pembaptis mengajar murid-muridnya berdoa. Latar belakangnya ialah kebiasaan orang pergi menyepi ke padang gurun, menemui orang suci untuk mohon berkat dan doa yang dapat dibawa pulang sebagai bekal dan kekuatan. Praktek keagamaan rakyat seperti ini masih dijumpai di banyak tempat.
Pada awal petikan yang dibacakan hari ini disebutkan bahwa Yesus sendiri sedang berdoa. Tema ini kerap muncul dalam Injil Lukas. Yesus di mata Lukas ialah pribadi yang dekat dengan kekuatan-kekuatan ilahi.
Di saat-saat puncak dalam kehidupannya Yesus ditampilkannya sebagai orang yang sedang berdoa. Dapat dicatat peristiwa-peristiwa berikut. Ketika Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Luk 3:21), Yesus berdoa dan membiarkan diri dikuatkan oleh kehadiran ilahi.
Ia berdoa semalam suntuk di sebuah bukit sebelum menetapkan ke-12 muridnya sebagai rasul (Luk 6:12). Pilihan yang penting ini terjadi dengan mengikutsertakan kekuatan ilahi. Yesus berdoa sebelum menanyai murid-murid mengenai pendapat orang mengenai dirinya dan mendengarkan pendapat murid-murid sendiri (Luk 9:18).
Kemudian Ia mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes ke gunung untuk berdoa dan dalam keadaan itu kemuliaannya tampak (Luk 9:28). Dan dalam bacaan hari ini, sebelum mengajar murid-muridnya berdoa, Yesus sendiri berdoa di sebuah tempat (Luk 11:1).
Nanti di Getsemani sewaktu bergulat dengan dirinya sendiri apakah akan menerima kenyataan salib dalam hidupnya (Luk 22:41) Yesus berdoa. Akhirnya, di Golgota, di kayu salib, ia masih berdoa dua kali (Luk 23:34 dan 46).
Itulah kesempatan-kesempatan yang secara khusus disebut Lukas. Ada saat-saat lain ketika ia juga berdoa, misalnya pada perjamuan terakhir dengan para murid (Luk 22:19) atau ketika Yesus mensyukuri karya ilahi dalam dirinya (Luk 10:21).
Bagi Yesus berdoa ialah menaruh diri di hadapan Yang Ilahi yang dipercayanya sebagai Bapa. Ia membiarkan kekuatan ilahi menghidupinya. Dalam mengikuti perjalanannya ke Yerusalem, murid-muridnya makin menyadari hal itu.
Lambat laun mulai jelas bagi mereka dari mana kekuatan dan keteguhan pribadi yang mereka ikuti itu. Maka mereka datang kepadanya minta diajar berdoa, minta diberi rumusan doa yang dapat mereka pegang untuk bekal hidup.
Rumusan doa yang disampaikan dalam Luk 11:2-4 lebih pendek daripada doa Bapa Kami yang biasa kita doakan yang didasarkan pada Mat 6:9-13. Baik Matius maupun Lukas sama-sama menggarap suatu tradisi mengenai kata-kata Yesus tetapi dengan cara yang berbeda-beda.
Bahan dari tradisi yang biasa disebut para ahli sebagai “Q” (Quelle = sumber) belum terkumpul ketika Markus menulis Injilnya. Memang Markus tidak memuat doa Bapa Kami. Lukas lebih mengikuti bentuk ringkas dalam sumber tadi, tetapi ia menyesuaikan beberapa rumusan agar terasa lebih cocok bagi orang-orang yang dilayaninya. Matius lebih mempertahankan rumusan asli tetapi menambah penjelasan di sana-sini dan hasilnya ialah doa Bapa Kami yang kita kenal sehari-hari.
Dalam Injil Lukas bagian yang memuat doa “Bapa Kami” memiliki peran yang berbeda dengan yang ada dalam Injil Matius. Ringkasnya begini, Matius menaruh doa tadi dalam konteks Kotbah di Bukit (Mat 5-7) yang menggariskan dasar-dasar kehidupan mereka yang ingin masuk menjadi umat Kerajaan Surga.
Tetapi Lukas lebih menampilkan doa tadi sebagai cara Yesus membiarkan dirinya makin dipahami sebagai “sesama” oleh orang-orang yang dijumpainya dan yang menerimanya. Dapat dilihat kembali ulasan mengenai orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37) dan kisah Marta dan Maria (Luk 10:38-42).
Doa yang diajarkan Yesus menurut Lukas itu memuat lima permohonan yang diawali dengan sapaan “Bapa”. Di sini terungkap keakraban Yesus dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Sebutan “Bapa” (kata Aramnya “Abba”) itu sebutan akrab tapi hormat yang biasa dipakai seorang anak kepada ayahnya, jadi agak berbeda dengan “Pak” yang bisa dipakai kepada siapa saja yang dihormati atau dituakan.
Dengan mengajak murid-murid berani memanggil Tuhan dengan sebutan ini Yesus mau menaruh diri sebagai sesama dengan siapa saja yang bakal memakai doa ini. (Matius mengungkapkan hal ini dengan “Bapa kami yang ada di surga”, untuk juga mengingatkan bahwa doa ini memang diserukan kepada Tuhan yang Mahakuasa yang ada di surga.) Bekal yang diperoleh ialah sesama yang tak lain tak bukan Yesus sendiri. Adakah yang lebih memberi rasa aman?
Yesus juga memakai seruan “Bapa” di Getsemani ketika memilih mengikuti kehendakNya (Luk 22:42), dan kemudian dua kali lagi ketika di salib, yang pertama untuk memintakan ampun dari Bapanya bagi orang-orang yang menyalibkannya (Luk 23:34), dan kedua kalinya pada saat ia menyerahkan nyawanya kepada BapaNya (Luk 23:46). Inilah cara Lukas menunjukkan bagaimana Yesus mau menjadi sesama manusia sekalipun berarti ia harus menempuh perjalanannya ke salib hingga akhir.
Dengan latar tadi lima permohonan yang tercantum dalam doa itu akan terasa makin dalam artinya:
Baca juga Pemahaman Doa Bapa Kami
“Bapa, dikuduskanlah namaMu” (ayat 2a).
Diminta agar kehadiran yang Mahakuasa itu tetap dapat dialami sebagai kehadiran yang keramat sekalipun Ia membiarkan diriNya disapa sebagai Bapa. Dengan cara ini barulah jagad ini akan makin memuliakanNya.
“Datanglah KerajaanMu”.
Mulai dari Luk 4:14 Yesus mewartakan suatu dunia baru yang dilindungi oleh kekuatan Roh Ilahi sendiri, dan oleh karenanya dunia itu disebut KerajaanNya. Amat ditekankan dalam Injil Lukas, dalam dunia yang baru ini batas-batas antara orang kaya dan kaum miskin dibuka.
Bukan pertama-tama untuk mencampurbaurkan mereka begitu saja, melainkan untuk membuat masing-masing sadar bahwa bisa menjadi sesama bagi orang dari lapisan sosial yang lain, tak peduli yang mana. Matius menaruh gagasan dunia baru dalam ukuran-ukuran alam semesta dengan menambahkan ungkapan “jadilah kehendakmu di atas bumi seperti di dalam surga”.
“Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya”.
Didoakan agar Bapa tetap memberi apa saja yang dibutuhkan, tidak lebih tidak kurang, untuk hidup dari hari ke hari, tentu saja agar orang makin dapat hidup di dalam KerajaanNya.
Semangat membiarkan diri diperhatikan Bapa dengan tidak “menimbun makanan” itu sebenarnya jalan yang paling nyata untuk merasakan kehadiran Bapa di dalam kehidupan ini.
Begitu juga dalam diri orang yang membiarkan diri menjadi sesama bagi yang lain dengan memberi perhatian secukupnya, tidak berlebih-lebihan dengan akibat mengecilkan orang yang menerimanya.
“Dan ampunilah kami dari dosa-dosa kami, sebab kamipun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami”.
Permohonan ini diajarkan Yesus untuk membuat murid-muridnya belajar mengambil sikap pengampun, sikap batin yang memberi kemerdekaan bagi diri sendiri dan bagi orang yang pernah berlaku salah.
Tidak disangkal pengampunan ini tidak mudah dan acapkali juga disertai rasa pedih. Yesus yang disalib yang memintakan ampun kepada Bapanya bagi orang-orang yang menyalahinya itu mengalami kesakitan badan dan kepedihan batin.
Sering sikap mengampuni yang disertai penderitaan batin ini tidak mudah dikenali. Tak berlebihan juga bila kita gambarkan Tuhan sendiri tidak melihatnya. Ia bukan Tuhan yang selalu mau mengawasi apa yang terjadi dalam batin manusia.
Ia menghormati kemerdekaan manusia. Dan itulah kebesaran Tuhan juga. Namun, kepedihan yang tersimpan dalam-dalam itu satu saat dapat dibukakan kepadanya sebagai keikutsertaan dalam sikap hidup pengampun dari orang yang ditegaskan-Nya sendiri sebagai Anaknya yang terkasih (pada peristiwa baptisan Yesus dan penampakan kemuliaannya di gunung) dan yang dimintaNya sendiri agar didengarkan (di dalam peristiwa penampakan kemuliaan di gunung).
Dengan ini semua, mustahillah pada saat akhir nanti Tuhan bakal memperhitungkan kesalahan kita yang seberat apapun. Tak ternalarkan Ia tega membiarkan kita tanpa pengampunan.
“Dan janganlah membawa masuk kami ke dalam pencobaan.”
Dalam Injil Lukas, pencobaan ialah wilayah kekuatan-kekuatan yang jahat, yang gelap, yang pasti akan menelan manusia bagaimanapun juga kekuatan pribadinya. Menakutkan. Terjemahan “janganlah membawa masuk kami” dapat memberi kesan menuntun masuk ke sebuah ujian agar orang makin tabah, makin terlatih, makin kuat.
Yang lebih cocok ialah “janganlah membiarkan kami masuk” ke dalam wilayah daya-daya maut tadi. Tak ada heroisme apapun hendak diajarkan dalam perkara ini. Oleh karenanya Matius, dalam versinya, menyertakan kalimat tambahan yang menjelaskan maksud permohonan ini: “tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat”.
Satu-satunya orang yang pernah masuk dalam kuasa yang jahat dan dapat keluar lagi ialah Yesus sendiri. Tetapi juga semua Injil Sinoptik mengatakan ia disertai Roh (Mrk 1:12; Mat 4:1; Luk 4:1).
Ia memang memasuki wilayah yang gelap, tetapi ia tetap berada dalam bimbingan Roh Tuhan sendiri. Iblis tidak bisa berbuat banyak, walaupun tetap menunggu saat yang baik. Saat ini tiba ketika Yudas masuk dalam pencobaan dan tidak keluar lagi.
Perumpamaan yang disampaikan dalam Luk 11:5-8 mengenai orang yang datang membangunkan kawannya untuk minta tolong itu mengajarkan agar orang tak sungkan-sungkan mengajukan permohonan kepada Tuhan. Bahkan dalam perumpamaan itu orang tadi disebutkan “sikapnya yang tidak malu itu” (ayat 8).
Terasa kembali kekuatan sapaan kepada Tuhan sebagai “Bapa” yang diajarkan Yesus. Ditandaskan dalam ayat 9-13, tak terpikir ada seorang bapa yang tak menggubris permintaan anaknya, atau memberi barang yang buruk dan yang bisa mencelakakan.
Penalaran dari hidup sehari-hari ini dipakai untuk menegaskan bahwa Tuhan yang Mahakuasa pasti akan memberikan yang terbaik. Dan dalam rumusan Lukas, Ia akan memberikan Roh Kudus – kekuatan ilahi yang akan terus membimbing kita di dunia ini.
Rumusan doa yang disampaikan dalam Luk 11:2-4 lebih pendek daripada doa Bapa Kami yang biasa kita doakan yang didasarkan pada Mat 6:9-13. Baik Matius maupun Lukas sama-sama menggarap suatu tradisi mengenai kata-kata Yesus tetapi dengan cara yang berbeda-beda.
Bahan dari tradisi yang biasa disebut para ahli sebagai “Q” (Quelle = sumber) belum terkumpul ketika Markus menulis Injilnya. Memang Markus tidak memuat doa Bapa Kami.
Lukas lebih mengikuti bentuk ringkas dalam sumber tadi, tetapi ia menyesuaikan beberapa rumusan agar terasa lebih cocok bagi orang-orang yang dilayaninya.
Matius lebih mempertahankan rumusan asli tetapi menambah penjelasan di sana-sini dan hasilnya ialah doa Bapa Kami yang kita kenal sehari-hari.
Dalam Injil Lukas bagian yang memuat doa “Bapa Kami” memiliki peran yang berbeda dengan yang ada dalam Injil Matius.
Ringkasnya begini, Matius menaruh doa tadi dalam konteks Kotbah di Bukit (Mat 5-7) yang menggariskan dasar-dasar kehidupan mereka yang ingin masuk menjadi umat Kerajaan Surga.
Tetapi Lukas lebih menampilkan doa tadi sebagai cara Yesus membiarkan dirinya makin dipahami sebagai “sesama” oleh orang-orang yang dijumpainya dan yang menerimanya. Dapat dilihat kembali ulasan mengenai orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37) dan kisah Marta dan Maria (Luk 10:38-42).
Doa yang diajarkan Yesus menurut Lukas itu memuat lima permohonan yang diawali dengan sapaan “Bapa”. Di sini terungkap keakraban Yesus dengan Tuhan Yang Mahakuasa.
Sebutan “Bapa” (kata Aramnya “Abba”) itu sebutan akrab tapi hormat yang biasa dipakai seorang anak kepada ayahnya, jadi agak berbeda dengan “Pak” yang bisa dipakai kepada siapa saja yang dihormati atau dituakan.
Dengan mengajak murid-murid berani memanggil Tuhan dengan sebutan ini Yesus mau menaruh diri sebagai sesama dengan siapa saja yang bakal memakai doa ini.
(Matius mengungkapkan hal ini dengan “Bapa kami yang ada di surga”, untuk juga mengingatkan bahwa doa ini memang diserukan kepada Tuhan yang Mahakuasa yang ada di surga.)
Bekal yang diperoleh ialah sesama yang tak lain tak bukan Yesus sendiri. Adakah yang lebih memberi rasa aman?
Yesus juga memakai seruan “Bapa” di Getsemani ketika memilih mengikuti kehendakNya (Luk 22:42), dan kemudian dua kali lagi ketika di salib,
yang pertama untuk memintakan ampun dari Bapanya bagi orang-orang yang menyalibkannya (Luk 23:34), dan kedua kalinya pada saat ia menyerahkan nyawanya kepada BapaNya (Luk 23:46).
Inilah cara Lukas menunjukkan bagaimana Yesus mau menjadi sesama manusia sekalipun berarti ia harus menempuh perjalanannya ke salib hingga akhir.
Dengan latar tadi lima permohonan yang tercantum dalam doa itu akan terasa makin dalam artinya:
“Bapa, dikuduskanlah namaMu” (ayat 2a).
Diminta agar kehadiran yang Mahakuasa itu tetap dapat dialami sebagai kehadiran yang keramat sekalipun Ia membiarkan diriNya disapa sebagai Bapa. Dengan cara ini barulah jagad ini akan makin memuliakanNya.
“Datanglah KerajaanMu”.
Mulai dari Luk 4:14 Yesus mewartakan suatu dunia baru yang dilindungi oleh kekuatan Roh Ilahi sendiri, dan oleh karenanya dunia itu disebut KerajaanNya. Amat ditekankan dalam Injil Lukas, dalam dunia yang baru ini batas-batas antara orang kaya dan kaum miskin dibuka.
Bukan pertama-tama untuk mencampurbaurkan mereka begitu saja, melainkan untuk membuat masing-masing sadar bahwa bisa menjadi sesama bagi orang dari lapisan sosial yang lain, tak peduli yang mana. Matius menaruh gagasan dunia baru dalam ukuran-ukuran alam semesta dengan menambahkan ungkapan “jadilah kehendakmu di atas bumi seperti di dalam surga”.
“Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya”.
Didoakan agar Bapa tetap memberi apa saja yang dibutuhkan, tidak lebih tidak kurang, untuk hidup dari hari ke hari, tentu saja agar orang makin dapat hidup di dalam KerajaanNya.
Semangat membiarkan diri diperhatikan Bapa dengan tidak “menimbun makanan” itu sebenarnya jalan yang paling nyata untuk merasakan kehadiran Bapa di dalam kehidupan ini.
Begitu juga dalam diri orang yang membiarkan diri menjadi sesama bagi yang lain dengan memberi perhatian secukupnya, tidak berlebih-lebihan dengan akibat mengecilkan orang yang menerimanya.
“Dan ampunilah kami dari dosa-dosa kami, sebab kamipun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami”.
Permohonan ini diajarkan Yesus untuk membuat murid-muridnya belajar mengambil sikap pengampun, sikap batin yang memberi kemerdekaan bagi diri sendiri dan bagi orang yang pernah berlaku salah.
Tidak disangkal pengampunan ini tidak mudah dan acapkali juga disertai rasa pedih. Yesus yang disalib yang memintakan ampun kepada Bapanya bagi orang-orang yang menyalahinya itu mengalami kesakitan badan dan kepedihan batin.
Sering sikap mengampuni yang disertai penderitaan batin ini tidak mudah dikenali. Tak berlebihan juga bila kita gambarkan Tuhan sendiri tidak melihatnya. Ia bukan Tuhan yang selalu mau mengawasi apa yang terjadi dalam batin manusia.
Ia menghormati kemerdekaan manusia. Dan itulah kebesaran Tuhan juga. Namun, kepedihan yang tersimpan dalam-dalam itu satu saat dapat dibukakan kepadanya sebagai keikutsertaan dalam sikap hidup pengampun dari orang yang ditegaskan-Nya sendiri sebagai Anaknya yang terkasih (pada peristiwa baptisan Yesus dan penampakan kemuliaannya di gunung) dan yang dimintaNya sendiri agar didengarkan (di dalam peristiwa penampakan kemuliaan di gunung).
Dengan ini semua, mustahillah pada saat akhir nanti Tuhan bakal memperhitungkan kesalahan kita yang seberat apapun. Tak ternalarkan Ia tega membiarkan kita tanpa pengampunan.
“Dan janganlah membawa masuk kami ke dalam pencobaan.”
Dalam Injil Lukas, pencobaan ialah wilayah kekuatan-kekuatan yang jahat, yang gelap, yang pasti akan menelan manusia bagaimanapun juga kekuatan pribadinya. Menakutkan. Terjemahan “janganlah membawa masuk kami” dapat memberi kesan menuntun masuk ke sebuah ujian agar orang makin tabah, makin terlatih, makin kuat.
Yang lebih cocok ialah “janganlah membiarkan kami masuk” ke dalam wilayah daya-daya maut tadi. Tak ada heroisme apapun hendak diajarkan dalam perkara ini. Oleh karenanya Matius, dalam versinya, menyertakan kalimat tambahan yang menjelaskan maksud permohonan ini: “tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat”.
Satu-satunya orang yang pernah masuk dalam kuasa yang jahat dan dapat keluar lagi ialah Yesus sendiri. Tetapi juga semua Injil Sinoptik mengatakan ia disertai Roh (Mrk 1:12; Mat 4:1; Luk 4:1).
Ia memang memasuki wilayah yang gelap, tetapi ia tetap berada dalam bimbingan Roh Tuhan sendiri. Iblis tidak bisa berbuat banyak, walaupun tetap menunggu saat yang baik. Saat ini tiba ketika Yudas masuk dalam pencobaan dan tidak keluar lagi.
Perumpamaan yang disampaikan dalam Luk 11:5-8 mengenai orang yang datang membangunkan kawannya untuk minta tolong itu mengajarkan agar orang tak sungkan-sungkan mengajukan permohonan kepada Tuhan. Bahkan dalam perumpamaan itu orang tadi disebutkan “sikapnya yang tidak malu itu” (ayat 8).
Terasa kembali kekuatan sapaan kepada Tuhan sebagai “Bapa” yang diajarkan Yesus. Ditandaskan dalam ayat 9-13, tak terpikir ada seorang bapa yang tak menggubris permintaan anaknya, atau memberi barang yang buruk dan yang bisa mencelakakan.
Penalaran dari hidup sehari-hari ini dipakai untuk menegaskan bahwa Tuhan yang Mahakuasa pasti akan memberikan yang terbaik. Dan dalam rumusan Lukas, Ia akan memberikan Roh Kudus – kekuatan ilahi yang akan terus membimbing kita di dunia ini.
Doa
Allah Bapa kami di surga, kami berdoa, namun iman kami terlalu kecil, perhitungan kami lebih besar dariapada harapan kami. Letakkanlah sabda Yesus pada lisan kami. Ajarilah kami berdoa seperti pada murid-Nya.
Maka nama-Mu akan kami puji dan kerajaan-Mu akan datang. Dengan pengantaraan Kristus Tuhan kami, yang bersama Dikau, dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa kini dan sepanjang masa. Amin.
Sumber https://renunganhariankatolik.org/
Sumber gambar google.com